Sayyidina Ali r.a. pernah berujar: “Orang yang mengajarkanku satu ayat atau satu kalimat yang belum aku ketahui, maka aku rela untuk dijadikannya sebagai budak atau hamba sahaya.” Sebuah ungkapan tulus yang menempatkan guru sebagai profesi mulia. Tidak hanya itu, tanpa sadar kepada guru juga sering disematkan ekspektasi yang tinggi dalam masyarakat. Begitu tingginya ekspektasi itu sampai-sampai muncul pepatah Cina: “Berikan saya seekor ikan agar saya bisa makan hari ini. Ajarkan pula saya memancing, agar saya bisa makan setiap hari.”
Dari pepatah itu, saya jadi teringat nasihat: “Tuntutlah ilmu sampai ke Negeri Cina”. Nasihat singkat ini sangat populer di negeri kita, bahkan sebagian besar menyebutnya hadis Nabi saw, namun tidak sedikit pula yang menolaknya (baca: hadits dhā’if, lemah)
Terlepas dari perbedaan pendapat itu, saya memandang gemerlap negara- negara yang menguasai ilmu pengetahuan, termasuk negara-negara Asia yang berpenduduk mayoritas Cina seperti Singapura, Korea Selatan, atau Cina sendiri, memperlihatkan bagaimana suntikan ilmu pengetahuan yang dihasilkan dari proses pendidikan yang baik, bisa membangkitkan kemajuan dan taraf ekonomi sebuah negara.
Itulah sebabnya, menurut hemat saya mengapa pemerintah menunjukkan keseriusannya untuk menata dan membenahi masalah pendidikan sejak awal kemerdekaan sampai sekarang. Presiden Soekarno misalnya, pernah berkata: “…sungguh alangkah hebatnya kalau setiap guru di Perguruan Taman Siswa itu adalah Rasul Kebangunan. Hanya guru yang dadanya penuh dengan jiwa kebangunan yang dapat ‘menurunkan’ kebangunan ke dalam jiwa sang anak”. (Moh. Yamin, 2009)
Hal yang bisa dicermati, bahwa Soekarno banyak menaruh harapan kepada guru untuk mengubah pola pikir masyarakat dari keterjajahan menuju kemerdekaan, dan melepaskan bangsa dari lubang kebodohan antah-berantah.
Sejalan dengan itu, pendidikan dalam genggaman Orde Baru lebih menekankan pada pendidikan dan latihan, penyeragaman ideologi, indoktrinasi, atau tutorial yang mengajarkan peserta didik agar patuh dan menjadi penurut. Hampir seluruh materi kurikulum pendidikan umum pada saat itu sangat mendukung ideologi militerisme. Kebijakan tersebut semakin diperkuat oleh kecenderungan pemerintah dalam penyiapan calon-calon tenaga guru negeri, penataran-penataran, prajabatan calon- calon guru pegawai negeri sipil dan sejenisnya di bawah instruktur militer. (Anita Lie, 2008)
Selanjutnya, profesionalisme guru menjadi salah satu isu yang cukup menonjol pada pasca Reformasi bahkan sampai sekarang, karena ada asumsi bahwa merosotnya kualitas pendidikan nasional disebabkan oleh keberadaan guru yang tidak profesional.