Surabaya | mediaantikorupsi.com – Adendum perizinan dari konsekuensi perubahan luas area PT Adiprima Suraprinta yang berada di Desa Sumengko, Kecamatan Wringinanom, Kabupaten Gresik, disinyalir tidak sesuai dengan dokumen Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Selain menjadi pemicu protes warga setempat, perubahan luas area tersebut diduga hanya dimanfaatkan sebagai tempat penimbunan sementara limbah yang seharusnya dibuang ke luar pabrik.
Berdasarkan data, perluasan area itu akan digunakan sebagai pengembangan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Namun yang terjadi justru dijadikan tempat penimbunan sementara limbah padat dan limbah Bahan Beracun Berbahaya (B3). Akibatnya, limbah yang ditimbun itu menimbulkan bau menyengat ke lingkungan sekitarnya.
Sayangnya, persoalan ini membuat Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Gresik tidak bisa berbuat banyak. OPD yang tugas dan fungsinya memberi perlindungan terhadap lingkungan hidup itu berdalih sudah bukan kewenangannya lagi.
Sejak Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2021 tentang Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diberlakukan, kewenangan tersebut kini berada di tangan Pemprov Jatim melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Jawa Timur.
Hal ini ditegaskan oleh Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup, DLH Kabupaten Gresik, Sri Subaidah.
“Sekarang kewenangannya sudah ada di Provinsi Jawa Timur, jadi untuk tindak lanjutnya bisa menghubungi DLH Provinsi Jatim,” kata Sri, melalui sambungan seluler.
Namun begitu, peralihan kewenangan itu sampai kini tidak disertai dengan migrasi dokumen perizinan. Kondisi ini menyebabkan proses adendum perizinan menjadi tersendat.
Hal ini juga diakui oleh Kepala Bidang Penataan Lingkungan Hidup DLH Provinsi Jatim, Ainul Huri.“Ada banyak perubahan dalam peraturan yang baru ini, seperti peralihan kewenangan, sehingga dalam penerapannya diperlukan upaya koordinasi dengan Pemkab Gresik,” ujar Ainul.
Ainul juga mengatakan bahwa perubahan kewenangan tersebut masih belum diikuti dengan migrasi dokumen terkait perizinan dari Pemkab Gresik. “Mau tidak mau, ini memerlukan peran DLH Kabupaten Gresik dalam proses perubahan perizinan itu sehingga benar-benar sesuai dengan data dan informasi yang sebenarnya,” tegasnya.
Sejumlah kalangan menilai migrasi perizinan yang tersendat ini berpotensi menimbulkan celah bermain. Maka ‘jalan pintas’ dalam proses verifikasi dan validasi adendum perizinan tersebut, tak ayal akan dilakukan oleh pihak-pihak tertentu.
Hal ini juga diungkap oleh Corporate Legal and Public Relation PT Adiprima Suraprinta, Bagus Seto H, yang ditemui di salah satu pusat perbelanjaan di kawasan Waru, Kabupaten Sidoarjo, beberapa pekan silam.
Bagus mengakui, pihaknya telah duduk bersama dengan DLH Provinsi Jatim terkait adendum perizinan tersebut. Terutama menyangkut perbedaan luasan area yang tertulis dalam dokumen AMDAL.
“Kita sudah bertemu dengan DLH Jatim untuk menjelaskan terjadinya perbedaan luas itu untuk mencari solusi terbaik. Perusahaan tidak mungkin menggunakan jasa konsultan lagi untuk memperbaiki atau merevisi sesuai luas yang sebenarnya, kurang lebih 25 hektare,” ujarnya.
Selanjutnya ia mengatakan bahwa perbedaan luas area tersebut terjadi karena kesalahan ketik saat penyusunan AMDAL oleh konsultan. “Kita tidak mungkin menyewa jasa konsultan lagi karena biayanya juga mahal,” katanya.
Tetapi Bagus berharap, meskipun tidak perlu merevisi dokumen AMDAL, hal itu bisa menemukan win-win solution setelah pihaknya duduk bersama dengan DLH Jatim.
Berdasarkan data, luas area eksisting menurut AMDAL yang dibuat tahun 2019 adalah seluas 185.595 meter persegi. Kemudian pada tahun 2020 ada penambahan seluas 32.551 meter persegi, setara dengan 3,25 hektare.
Sedangkan menurut izin tambahan untuk industri kertas budaya PT Adiprima Suraprinta yang dikeluarkan Dinas Penanaman Modal Daerah (DPMD) Kabupaten Gresik Nomor: 503.5.1/414/437.74/2020 tanggal 26 Agustus 2020, total luasnya mencapai 218.143 meter persegi atau setara 21,8 hektare.
Luas pada data tersebut ditemukan kejanggalan. Seharusnya total luas keseluruhan adalah 218.146 meter persegi, bukan 218.143 meter persegi. Fakta ini mencerminkan jika kinerja verifikasi dan validasi pada proses perizinan DPMD Kabupaten Gresik tidak cermat dan mengabaikan unsur kehati-hatian dalam bekerja.
Saat ini, adendum perizinan itu berada di Pemprov Jatim. Kesalahan ketik pada luas area tersebut akan dijadikan berkas pada pengajuan adendum perizinan. Dengan kata lain, pengajuan perizinan tersebut meminta hak istimewa diluar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebab tidak mencantumkan luasan area yang sebenarnya.
Padahal, dalam adendum izin yang diajukan ke Pemprov Jatim, menurut Bagus, luas area yang sebenarnya kurang lebih mencapai 25 hektare.
“Perbedaan luas terjadi karena terjadi kesalahan ketik oleh konsultan yang kami hire (sewa) jasanya. Kami sudah duduk bersama dengan tim dari Pemprov Jatim, termasuk DLH Jatim,” aku Bagus.
Sejumlah kalangan pemerhati penyelenggaraan pemerintahan menilai, polemik migrasi perizinan dan kebenaran data dan informasi dalam pengajuan perizinan harus benar-benar menjadi perhatian pihak DLH Jatim dan DPNPTSP Jatim.
DLH Jatim sendiri, yang menjadi garda terdepan dalam perlindungan lingkungan hidup, diharapkan akan bekerja secara profesional dan penuh tanggung jawab. Selain itu, transparansi dalam proses verifikasi dan validasi di DPMPTSP Jatim akan menjadi tolok ukur akuntabilitas kinerja perubahan perizinan tersebut.
Selain itu, peran strategis Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Penanaman Modal dan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Jatim, dapat diimplementasikan pada kinerja verifikasi dan validasi adendum perizinan yang diajukan.
Sebab jika tidak, hal itu hanya akan menjadi oreseden buruk bagi perlindungan lingkungan hidup yang disebabkan oleh keberpihakan pada kepentingan modal dan investasi semata. (Min)