Tangerang | mediaantikorupsi.com – Penjualan seragam di SMP Negeri 9 Kota Tangerang terbilang fantastis. Untuk perlengkapan seragam sekolah orang tua siswa harus mengeluarkan biaya hingga Rp 2 juta/siswa, yang konon katanya untuk seragam berikut atribut sekolah.
Diketahui, setiap penerimaan anak didik baru tiap tahunnya menjadi momen untuk ajang bisnis mencari keuntungan untuk pihak sekolah tanpa memperhatikan situasi ekonomi orang tua siswa saat ini.
Diungkapkan narasumber bahwa pihak sekolah menyediakan seragam dan atribut untuk siswa didik baru dengan kisaran harga kurang lebih Rp1,9 juta untuk siswa laki-laki, dan Rp2 juta untuk siswa perempuan.
Adapun rincian seragam dan atribut sekolah sebagai berikut :
- Seragam Putih dan Biru.
- Seragam Pramuka.
- Seragam Hijau.
- Seragam Muslim Biru.
- Seragam Olahraga
Atribut : Topi, Dasi, Kaos Kaki, Sepatu, Kacu Pramuka, Hijab Warna Putih dan Hijab Pramuka.
Padahal sudah jelas dalam Peraturan Pemerintah nomor 17 tahun 2010, tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, disebutkan bahwa Pendidikan dan Tenaga Pendidik, baik Perseorangan maupun Kolektif dilarang menjual pelajaran, bahan ajaran, seragam sekolah atau bahan seragam di Satuan Pendidikan.
Kepala SMP Negeri 9 Kota Tangerang, Caswani membenarkan hal tersebut, namun tidak diwajibkan untuk membeli di Koperasi terutama Putih Biru dan Pramuka.
“Pembelian tidak harus sekaligus. Nanti silahkan tanya langsung ke orang tua,” ujar Caswani singkat saat di konfirmasi awak media, Rabu (24/7/2024).
Sementara itu, Ketua LSM Presidium Jaringan Rakyat (PIJAR), Haerul Herdiansyah menyampaikan, bahwa terjadinya praktek penjualan seragam oleh pihak sekolah yang mengatasnamakan Koperasi, sebenarnya bertentangan dengan Azas Koperasi.
“Koperasi sekolah adalah Badan Usaha Milik Sekolah untuk melayani kebutuhan siswa siswinya, namun dengan Azas Sukarela dan tidak memaksa,” ucap Haerul.
“Kalau sampai pihak sekolah memaksakan hal tersebut kepada siswanya, itu sangat tidak manusiawi dan sangat bertentangan dengan Kaidah dan Azas Koperasi yang sebenarnya,” tambahnya.
Haerul menegaskan, “Larangan tersebut tidak hanya ditujukan kepada Guru atau Kepala Sekolah dan atau yang mengatasnamakan Koperasi Sekolah sebagaimana juga diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 75 tahun 2016,” tandasnya. (Tim)