Depok | mediaantikorupsi.com – Warga Blok Tengki Meruyung, Kecamatan Limo, Kota Depok selaku Penggugat perkara 75/Pdt.G/2023/PN Dpk dan 71/Pdt.G/PN Dpk tetap konsisten terkait kemangkiran Lurah Meruyung yang gagal memberi pelayanan pertanahan.
Keterangan tersebut terungkap dalam sidang gugatan dengan agenda kesimpulan di Ruang 2 Pengadilan Negeri (PN) Depok, Selasa (30/5/2023).
“Yuyun Saputra sebagai Lurah Meruyung gagal memberi pelayanan pertanahan yang bersifat melawan hukum oleh penguasa dalam hubungan kontraktual publik dan melanggar etika pemerintahan dan Tergugat juga mangkir di Peradilan,” kata Penggugat dalam Kesimpulannya.
Penggugat menjelaskan, kedudukan warga dalam perkara ini sebagai penggugat class action atau gugatan kelompok yang merupakan warga RT01/10 Kelurahan Meruyung, Kecamatan Limo, Kota Depok. Dimana Penggugat mempunyai kedudukan berkuasa atas sebidang tanah/bagian persil yang dimintakan dicatat tanahnya atau dilaksanakan pendaftaran tanahnya di BPN Kota Depok.
Sedangkan dalam pengaturan prima facie hak menguasai Negara atas tanah dengan instrumen hukum UU Agraria No.5 Tahun 1960 dan stelsel publikasi negatif yang dilaksanakan BPN RI. Negara tidak menjamin kebenaranlah bahwa nama yang tercantum sertifikat BPN sebagai mutlak pemilik sebenarnya. Artinya, pendaftaran tanah atau lanjutnya pendaftaran (peralihan/pembebanan) hak atas tanah hanya merupakan sebatas perbuatan formalisasi administrasi bukan legalisasi hak.
“Keabsahan peristiwa/perbuatan hukum yang berdasarkan itikad baik menjadi jantung atau inti permohonan perolehan hak atas tanah. Pemilik tanah sebenarnya (eignaar) diizinkan sampai kapan pun menuntut balik haknya,” ujarnya.
Kelurahan Meruyung dan BPN Kota Depok mempunyai legal standing yang dibentuk peraturan pemerintah (PP) pendaftaran tanah. Kelurahan memiliki kewenangan dari rangkaian proses formalisasi administrasi pemerintahan berdasarkan Arsip Data menuju tahap akhir proses legalisasi pemberian hak atas tanah yang merupakan khusus kewenangan BPN.
Lurah dalam dimensi pelayanan publik gagal atau diterjemahkan atau lebih jauh terperangkap oleh pelaku kecurangan dalam ranah privat perdata menjadi masuk delik pidana pelayanan pertanahan dimana tanah milik orang, dianggap bersama sebagai tanah Negara yang (dapat) dimohonkan oleh kedudukan berkuasa yang lebih dahulu dan diperjualbelikan sebagai alas hak atau bukti dasar ilegal surat over alih garap tanah.
“Di perkara ini Lurah masuk ke dalam langkah kesalahan administrasi menjadi trading influence, jual pengaruh seolah menjadi (berubah) kewenangan ranah privat keperdataan sebagai Juri Dadakan Penentu Hak. Pelayanan disederhanakan Blangko BPN siapa yang boleh lanjut atau stop di Kelurahan,” bebernya.
Kegagalan pelayanan Lurah Meruyung dalam dimensi perdata publik, kata Penggugat, tidak sesuai atau melanggar kewenangan, prosedur dan substansi pelayanan birokrasi Negara atau menimbulkan ketidakpatutan dalam prosedur resmi. Permohonan pengajuan sertifikat pertama kali di BPN Depok. Lebih jauh, pelayanan pemberian riwayat tanah berdasarkan Buku C Desa atau buku tanah milik desa menjadi transaksional ‘Data Rahasia Negara’, bukan lagi sebatas informasi publik.
“Lurah Meruyung bertindak melawan hukum sebagai petugas yang ditunjuk Negara sebagai anggota panitia A (panitia adjudikasi pendaftaran tanah) yang dianggap paling mengetahui kebenaran data yuridis dan (sepatutnya dihadapan hukum) punya kewajiban yang layak bertugas melakukan penyelidikan riwayat (status) tanah dan in result memberikan keterangan bersifat yuridis terhadap persil tanah desa yang dimohonkan haknya sesuai PP No. 10/1961 tentang Pendaftaran Tanah,” imbuhnya.
Karena, menurut Penggugat, Lurah melampaui kewenangan sebagai pihak yang seharusnya sebatas memberikan formalisasi pengajuan warga dengan bersikap mencatat di buku register desa dan kemudian tanda tangan menstempel isian blanko yang disediakan BPN Depok (malah lebih jauh) seperti yang berwenang melegalisasi alas hak tanah.
“Lurah tanpa cukup ilmu agraria pertanahan malah menegaskan keberadaan/eksistensi status tanah milik adat yang punya nomor girik terdaftar di Buku Tanah Desa, sebagaimana pengertian arsip vital dan terjaga digantikan anggapan sebagai Tanah Negara SK KINAG sebagaimana yang diinfokan organ bawahannya, yakni Ketua RW 10,” tambahnya.
Penggugat beranggapan Yuyun Saputra sebagai Lurah Meruyung kala itu bersikap tidak adil dan berimbang dalam pelayanan pertanahan Buku C Desa dengan memberikan surat keterangan dan surat sporadik dalam program PTSL warga yang dikoordinir oleh Ketua RW 10. Tetapi tidak memberikan alasan tertulis apa hambatan, halangan, penolakan terhadap persyaratan sudah lengkap dimohonkan Penggugat sebagai kolektif warga RT01 yang termasuk wilayah RW10.
“Ini menunjukkan Lurah gagal paham atau gagal subtansi Pelayanan Pertanahan yang dimintakan kelurahan atau sesuai isian blangko BPN Kota,” tandasnya.
Seusai kesimpulan disampaikan, Majelis Hakim perkara nomor 75/Pdt.G/2023/PN Dpk dan 71/Pdt.G/2023/PN Depok menutup jalannya sidang dan akan melanjutkan putusan secara e-Court. “Sidang akan dilanjutkan pada 13 Juni 2023 melalui e-Court,” tutup Majelis Hakim.(Ndi)