Gresik | mediaantikorupsi.com
– Sejumlah polemik seakan tak lepas dari pengelolaan Waduk Sumengko, selain minim pemeliharaan dan kerap menimbulkan konflik sosial, akibat minimnya ketersediaan air waktu musim kemarau, pengelolahan dan penatausahaan salah satu waduk andalan di Kabupaten Gresik itu juga seolah tak terkendali. Air baku waduk milik Pemprov Jatim kini kabarnya diduga jadi ajang bisnis mengeruk untung sejumlah pihak. Lalu, ke mana Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air Provinsi Jatim?
Waduk Sumengko kian terlihat ‘sakit’. Kali ini terkait pemanfaatan air baku dan area Waduk Sumengko yang membentang lintas kabupaten mulai Kabupaten Gresik hingga Lamongan, berpotensi menimbulkan konflik sosial.
Pasalnya, ada sejumlah oknum maupun badan usaha disinyalir menggunakan air baku waduk tersebut secara liar, tak sesuai peruntukan hingga dikomersilkan.
Padahal peranan DPU SDA Provinsi Jatim dalam penanganan waduk seluas 261 hektar tersebut sangat dibutuhkan. Untuk memecah segala persoalan hingga memberikan sanksi terhadap oknum yang bermain curang dalam pemanfaatan Barang Milik Daerah (BMD) tersebut.
Isu tak sedap adanya kerjasama terorganiser mencuat, lantaran pemanfaatan BMD sumber daya air dilakukan secara liar dan tanpa tedeng aling-aling.
Dari keterangan dan informasi yang dihimpun bahkan menyebutkan, sebagian lahan dari Waduk Sumengko yang berada di Desa Jatirembe, Kecamatan Benjeng, Gresik, telah dialihfungsikan dan menjadi areal sawah pertanian.
Tidak hanya itu, air baku dari salah satu waduk yang bisa mengairi sawah di 11 desa tersebut pun diduga kuat jadi komoditas bisnis.
Air baku dari Waduk Sumengko dialirkan melalui pipa ukuran tertentu oleh Badan Pengelola Air Bersih (BPAB) Perumahan Bhumi Jati Permai yang berada di Desa Jatirembe, Kecamatan Benjeng, Kabupaten Gresik. Kemudian BPAB menyerahkan pengelolaannya air kepada Pengolahan Air Bersih (PAB) Tirta Jati Permai sebagsi operator.
Keterangan yang dihimpun dari penghuni salah satu perumahan KPR Bersubsidi membeberkan bahwa air bersih untuk warga perumahan berasal dari telaga (Waduk Sumengko, red) yang ada di belakang kawasan perumahan. Sedangkan tarif yang dikenakan sebesar Rp 10 ribu per meter kubik.
“Tarifnya Rp 10 ribu per meter kubik, lebih mahal dari yang dikelola oleh kampung yang ada di belakang komplek. Di kampung tarifnya hanya Rp 3.500 per meter kubik,” ujar salah satu pemilik rumah KPR Bersubsidi di Blok E perumahan tersebut, Minggu, (24/04/2022).
Selanjutnya ia mengungkap, sebelumnya warga perumahan menumpang ke fasilitas pengolahan air bersih milik kampung (desa, red). Namun karena diprotes warga desa setempat, akhirnya pihak pengembang membangun prasarana air baku dan fasilitas instalasi air bersih sendiri.
Sedangkan petugas menarik rekening pembayaran para pelanggan di perumahan adalah petugas dari developer, yaitu PT Bhumi Kartika Griya Persada.
“Instalasi pengolahan airnya milik developer dan dikelola oleh developer sendiri sejak pembangunan tahap pertama perumahan sekitar pada Juli 2021,” imbuhnya.
Menanggapi sejumlah polemik di Waduk Sumengko, respon datang dari Ketua Jaringan Masyarakat Mandiri, Mohammad Isnaeni. Ia menilai, pengusahaan dan pemanfaatan sumber daya air harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengusahaan dan pemanfaatan sumber daya air ini tidak terlepas dari pesatnya perkembangan kawasan terbangun. Akibatnya, alih fungsi lahan bangunan tampungan air seperti waduk, potensinya relatif tinggi. Begitu juga dengan kegiatan pengusahaan sumber daya air.
“Kalau tidak memenuhi ketentuan peraturan yang berlaku, seperti adanya rekomendasi teknis dari OPD atau BBWS, maka pemanfaatan air dari waduk atau sumber air permukaan lainnya jelas melanggar,” katanya, Minggu (24/04/2022). “Ini jelas pencurian aset milik daerah,” tegasnya lagi.
Ia menambahkan, jika OPD teknis terkait membiarkan, itu artinya sama dengan menginginkan waduk tidak bisa memenuhi fungsinya sesuai dengan yang direncanakan.
“Dan ini termasuk kejahatan terhadap perekonomian negara atau daerah yang dapat mengancam kesejahteraan masyarakat, seperti masyarakat petani,” urainya.
Selain itu, kondisi ini tentu akan menyebabkan fungsi waduk menjadi tidak optimal. Padahal, ada ribuan hektare sawah yang tersebar di 11 desa sangat bergantung pada layanan irigasi waduk tersebut.
“Apalagi saat musim kemarau, untuk memenuhi kebutuhan irigasi areal sawah dan pertanian menjadi sangat sulit. Kondisi seperti inilah kadang memicu terjadinya alih fungsi lahan-lahan pertanian produktif, dan bahkan memicu konflik sosial,” bebernya.
Terkait pengusahaan sumber daya air untuk pengelolaan air bersih, menurut Mohammad Isnaeni, tidak lepas dari persyaratan teknis dan administratif yang ditetapkan oleh Kementerian PUPR.
“Bahan dan material maupun desain instalasi pengolahan airnya telah diatur semua,” pungkasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas PU Sumber Daya (DPU SDA) Air Provinsi Jawa Timur Isa Anshori, belum mengonfirmasi terkait pengusahaan air baku dan pemanfaatan lahan Waduk Sumengko.
Dihubungi melalui selularnya, nomor Isa Anshori yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Bidang Manfaat DPU SDA, tidak aktif.
Begitu juga dengan pihak Balai Pelaksana Penyediaan Perumahan Jawa IV. Saat dihubungi, Jum’at (22/04/2022), belum berhasil diminta keterangan terkait syarat teknis dan administratif instalasi pengolahan air bersih di Perumahan Bhumi Jati Permai.
Seperti diketahui, Waduk Sumengko memiliki luas 261 hektar, area waduk membentang mulai di wiayah Desa Jatirembe Kecamatan Benjeng, Desa Sumengko Kec.Duduksampeyan Kabupaten Gresik hingga Desa Tambak Menjangan di Kec.Sarirejo Kab.Lamongan. Jika musim kemarau waduk ini kerap menimbulkan konflik sosial antar desa karena rebutan pemakaian air. Yang hingga kini ‘masih’jadi persoalan laten. (Muhaimin/bersambung)