Pandeglang | mediaantikorupsi.com – Tujuh Siswa kelas 9 SMPN 1 Cadasari dilaporkan bermasalah terkait pelanggaran disiplin. Dari tujuh siswa tersebut, tiga orang dengan inisial F, R, dan D telah dikeluarkan dari sekolah, meskipun empat siswa lainnya, yang disebut-sebut memiliki kasus lebih berat, masih tetap bersekolah. Keputusan ini memicu kritik tajam dari siswa dan orang tua yang merasa ketidakadilan dalam penanganan kasus disiplin disekolah.
SMPN 1 Cadasari memiliki total 532 siswa, dengan 248 siswa laki-laki dan 284 perempuan. Salah satu siswa yang dikeluarkan, berinisial F, mengungkapkan rasa frustrasinya. Ia menyatakan bahwa ia hanya pernah terlambat sekali dan alfa tiga kali, namun berdasarkan catatan guru, dirinya dianggap bolos 10 kali. “Saya bersama teman yang lain, tapi hanya tiga dari kami yang dikeluarkan. Padahal kasus merokok yang dilakukan siswa lain lebih berat, tapi mereka tidak dikeluarkan. Kenapa saya yang cuma bolos langsung dikeluarkan tanpa peringatan? Apakah karena kondisi ekonomi keluarga saya yang kurang mampu?” keluh F, yang merasa diskriminasi karena status sosialnya.
Selain itu, siswa lain berinisial MRI juga mempertanyakan keputusan sekolah. “Saya hanya bolos dua kali, tapi langsung dikeluarkan oleh ibu Hesti, guru BK. Padahal siswa lain yang kena kasus merokok tetap bisa sekolah setelah diberikan peringatan,” ujarnya, memperkuat tuduhan ketidakadilan dalam perlakuan siswa.
Pungutan Kas dan Infak Jadi Sorotan
Tidak hanya masalah kedisiplinan yang memicu protes, siswa dan orang tua juga mengungkapkan adanya pungutan kas sekolah sebesar Rp 3.000 per siswa untuk kelas 7 hingga kelas 9. Selain itu, setiap awal bulan, siswa diminta menyetor Rp 5.000 untuk dana kas tersebut. Pungutan ini diduga digunakan untuk membeli peralatan kebersihan, mengecat sekolah, dan membantu siswa yang sakit. Namun, para siswa mengungkapkan bahwa jika ada yang sakit, mereka tetap diminta iuran tambahan untuk menjenguk teman yang sakit, meski sudah ada dana kas,terangnya.
“Sekolah bilang uang kas itu untuk beli sapu dan bantu siswa yang sakit. Tapi kenyataannya, kalau ada yang sakit, kami masih diminta iuran lagi. Jadi untuk apa sebenarnya uang kas itu?” kata salah satu siswa dengan nada heran. Kritik ini diperparah dengan adanya pungutan infak mingguan yang katanya “seikhlasnya” tapi pada praktiknya, diharuskan oleh pihak sekolah.
Salah seorang orang tua siswa yang anaknya dikeluarkan juga mengonfirmasi hal ini. “Anak saya pernah sakit, tidak ada satu pun pihak sekolah yang menjenguk apalagi memberikan bantuan uang untuk berobat, padahal katanya uang kas itu untuk membantu siswa yang sakit,” keluhnya.
Respon Pihak Sekolah
Saat dikonfirmasi, guru BK Hesti menjelaskan bahwa pungutan kas untuk kelas saya hanya sebesar Rp 2.000 per minggu di kelas 9 digunakan untuk kebutuhan kebersihan seperti membeli sapu, serta membantu siswa yang sakit. “Jika ada siswa yang sakit, uang kas digunakan untuk membantu biaya berobat. Tetapi, jika 2.000 rupiah itu tidak cukup, kami tetap perlu meminta tambahan iuran dari siswa lainnya,” kata Hesti. Ia juga menambahkan bahwa jika ada sisa saldo dari uang kas, dalam setahun dana tersebut digunakan untuk kegiatan sosial atau jalan-jalan bersama siswa dan bacakan,akunya.
Namun, pernyataan ini dianggap belum memadai menjawab kekhawatiran para siswa dan orang tua, terutama terkait transparansi penggunaan dana kas dan infak yang dianggap tidak sesuai dengan kegunaannya. Siswa juga mengkritik pengelolaan infak yang seharusnya berdasarkan kesadaran, tapi kenyataannya menjadi kewajiban yang memaksa walaupun seikhlasnya.
Potensi Sanksi dan Penyelidikan
Kasus pungutan liar seperti ini bisa masuk dalam kategori pelanggaran administratif. Jika terbukti adanya penyalahgunaan dana kas dan infak, pihak sekolah, terutama guru yang bertanggung jawab, dapat diberikan sanksi tegas oleh Dinas Pendidikan. Sanksi ini bisa berupa teguran tertulis hingga pencopotan dari jabatan. Selain itu, pungutan yang bersifat wajib seperti infak dan kas sekolah tanpa dasar hukum yang jelas, dapat dianggap sebagai pungutan liar (pungli) yang melanggar peraturan sekolah dan hukum. Hal ini bisa mengarah pada penyelidikan lebih lanjut oleh pihak berwenang terkait.
Kasus ini memicu sorotan publik terhadap manajemen sekolah di SMPN 1 Cadasari, terutama terkait masalah disiplin dan transparansi pengelolaan dana yang melibatkan siswa. Orang tua dan siswa berharap ada penanganan yang lebih adil dan terbuka dari pihak sekolah dan Dinas Pendidikan.(M.Rais)