Surabaya, mediaantikorupsi.com – Proyek pengendalian banjir sistem Kali Lamong terus berguli, . pada tahun 2021 lalu, pemerintah telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 98 miliar untuk mengantisipasi banjir yang kerap terjadi akibat luapan anak sungai Bengawan Solo itu.
Sejumlah pihak terlibat dalam kegiatan yang diharapkan bisa mengurangi banjir dari sungai sepanjang 103 kilometer serta memiliki 7 anak sungai dan melintas di 4 daerah aliran sungai, meliputi Kabupaten Lamongan, Gresik, Mojokerto dan Kota Surabaya.
Dari informasi yang dihimpun menyebutkan bahwa debit banjir kala ulang 10 tahun Kali Lamong mencapai 800 meterkubik per detik. Angka yang terbilang tinggi. Sehingga dari data tersebut maka dimensi sungai Kali Lamong perlu ditata agar mampu menunjang debit banjir yang tergolong tinggi.
Pemerintah Pusat dan Daerah pun menyiapkan alokasi anggaran demi kepentingan pengendalian banjir sistem Kali Lamong. Misalnya, Pemerintah Kabupaten Gresik menyiapkan anggaran yang dibutuhkan untuk pembebasan lahan. Sementara pemerintah pusat, menyiapkan anggaran untuk konstruksi melalui Kementerian PUPR.
Tak tanggung-tanggung, untuk menangani banjir Kali Lamong yang terjadi setiap musim penghujan, pemerintah telah memasukkan program dalam Perpres No. 80 tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Ekonomi di Kawasan Gresik Bangkalan Mojokerto Surabaya Sidoarjo Lamongan, Kawasan Bromo Tengger Semeru, serta Kawasan Selingkar Wilis dan Lintas Selatan.
Sejumlah fakta kegiatan pengendalian banjir sistem Kali Lamong yang berakhir pada tahun lalu, mediaantikorupsi.com menemukan sejumlah kejanggalan dalam pelaksanaannya.
Contohnya, dalam desain rencana pekerjaan yang dikendalikan oleh BBWS Bengawan Solo terungkap bahwa jarak antar tiang pancang adalah 2 meter.
Namun dalam pelaksanaannya, jarak tersebut diubah menjadi 3 meter. Perubahan ini tentu tidak bisa dibenarkan begitu saja, sebab hal itu mengisyaratkan jika pelaksanaan konstruksi tidak memiliki komitmen yang kuat untuk merealisasikan pekerjaan sesuai rencananya. Akibatnya, jumlah tiang pancang yang digunakan untuk menanggul Kali Lamong yang berada di ruas Surabaya itu akan berkurang.
Gambaran sederhananya adalah untuk pembangunan tanggul sepanjang 10 meter maka dibutuhkan 5 tiang pancang sesuai jarak yang ditetapkan dalam desain rencana.
Akan tetapi, karena jarak antar tiang pancang diubah menjadi 3 meter, maka tiang pancang yang terpasang hanya 3 buah. Berkurang sebanyak 2 tiang pancang dari yang direncanakan.
Implikasi lainnya adalah hal itu akan memengaruhi kualitas konstruksi tanggul yang dibangun. Tiang pancang yang menjadi bagian dari struktur pondasi tanggul menjadi tidak sekokoh yang diharapkan. Belum lagi soal anggaran proyek yang hilang senilai harga tiang pancang yang tidak terpasang. Meskipun menurut regulasi pengadaan barang/jasa pemerintah, perubahan-perubahan dapat dimungkinkan selama tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku lainnya.
Praktik-praktik seperti ini sepatutnya tidak dianggap hal yang lazim. Perubahan pelaksanaan kegiatan menurut pengadaan barang jasa pemerintah memang dibolehkan, selama itu ditempuh dengan cara-cara yang benar. Misalnya saja meminta second opinion dari Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atas usulan perubahan dari desain rencana yang dilakukan. Sebab perubahan tersebut akan berimplikasi terhadap pengelolaan keuangan negara yang tercantum dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA).
Banyak anggaran biaya proyek yang tereduksi oleh perubahan jarak pemasangan tiang pancang. Misalnya jumlah tiang yang digunakan. Atau perhitungan biaya alat untuk memasang tiang pancang seperti pile driver atau drop hammer, upah kerja operator serta bahan bakar yang digunakan. Semua bahan, material, alat dan pekerja include menjadi biaya pemasangan tiang pancang.
Sejumlah alasan dikemukakan oleh stake holder yang terkait dengan pelaksanaan kegiatan. Pembayaran hanya direalisasikan berdasarkan yang terpasang atau bahkan menyebut bahwa perubahan tersebut telah disetujui oleh konsultan perencana. Tetapi tanpa disertai dengan second opinion dari instansi pemerintah lainnya, misalnya BPKP, BPK, Balai Sungai atau pihak-pihak lain yang tidak terlibat secara langsung dalam pelaksanaan kegiatan.(Muhaimin/Bersambung)