Depok – mediaantikorupsi.com – Pengadilan Negeri (PN) Depok menyatakan sidang pidana kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan terdakwa MRF akan dilanjutkan ke tahap pemeriksaan. hal tersebut didapat ketika sidang putusan sela yang digelar di Ruang Sidang 2 PN Depok, Rabu, 31 Januari 2024 petang.
Dalam amar putusan sela, majelis hakim yang diketuai Andry Eswin dengan anggota Nartilona dan Anak Agung Niko Brama Putra mengatakan, menolak keberatan (eksepsi) dari tim penasehat hukum.
“Memerintahkan jaksa penuntut umum (JPU) untuk melanjutkan pemeriksaan dalam persidangan perkara 523/Pid.Sus/2023/PN Dpk,” kata majelis hakim dilansir dari situs resmi PN Depok, Kamis (1/2/2024).
Maka dengan Putusan sela itu, sidang akan dilanjutkan pada Rabu, 7 Februari dengan agenda pembuktian dari Jaksa Penuntut Umum Kejari Depok.
Sementara itu, kuasa hukum korban RF dari Law Firm JARZ & CO, yang terdiri dari Renna A Zulhasril, Jelita P Wijaya, Dinda Anasthasia, Erna Ebtariyani dan M Farid mengatakan, perbuatan KDRT yang dilakukan terdakwa MRF telah berulang kali. Bahkan, semenjak sebelum dilangsungkannya pernikahan.
Puncak KDRT terparah, katanya, terjadi pada 3 Juli 2023 di ruang kerja terdakwa MRF, dimana korban RF dianiaya di depan anak korban RF dan terdakwa yang berusia 2 tahun hingga luka berat dan mengakibatkan keguguran.
“Dengan perbuatan itu seharusnya terdakwa dijerat dengan Pasal berlapis, seperti Pasal 76 B dan Pasal 77 B UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan UU No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bukan hanya Pasal KDRT aja,” ucapnya.
Selaku kuasa hukum korban yang mempunyai surat kuasa khusus, katanya, sangat menyayangkan sikap majelis hakim yang sempat tidak memperbolehkan hadir dalam persidangan perdana atau dakwaan dengan alasan persidangan digelar secara tertutup. Padahal dalam Pasal 25 huruf a, b, c UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT diatur.
Advokat wajib memberikan perlindungan dan pelayanan hukum dalam hal memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak hak korban dan proses peradilan, itu diperbolehkan, terutama mendampingi korban di Tingkat penyidikan, penuntutan dan bahkan dalam proses pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya, kemudian juga dalam melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping dan pekerja sosial agar proses peradilannya berjalan dengan lancar sebagaimana mestinya.
Masih kata dia, pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) terdakwa masih dalam proses banding di Komisi Kode Etik Porli (KKEP) Mabes Polri. Pihaknya berharap putusan banding atas PTDH terdakwa dapat segera dilaksanakan, mengingat sudah dua bulan sejak putusan PTDH yakni pada tanggal 1 Desember 2023.
“Kami selaku tim penasehat hukum yang mewakili korban, meminta perlindungan dari Bapak Kapolri dan Wakapolri agar dapat segera melaksanakan putusan banding PTDH dan mengawal kasus ini supaya tidak ada campur tangan oknum-oknum yang melindungi terdakwa,” tandasnya.(Ndi)